Dari jendela rumah, pemandangan pertama yang tersuguh tiada lain gunung-gunung dengan puncak bukitnya memagari perdesaan dengan kuatnya. Nyi Iteung sering melayangkan pandang ke arah gunung-gunung yang mengelilingi dusunnya ketika membuka jendela kamarnya, menyambut datangnya hari baru. Lalu, ia menghirup udara segar dengan tarikan napas yang kuat sampai terasa menyelusup ke dalam dadanya. Pohonan dengan warna hijau daunan yang segar di luar sana seperti tergambar di atas kanvas memberikan kesejukan dan kedamaian.
Namun, rasa itu tiba-tiba lenyap, manakala terdengar dengkur suaminya yang naik turun seiring dengan gerakan dadanya. Ditolehnya sejenak suaminya yang sedang tidur, tubuhnya melingkar di atas balai-balai. Nyi Iteung dengan kesal bergegas keluar kamar menuju dapurnya. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari Abah dan Ambunya, namun tidak seorang pun ditemuinya.
“Ah, Abah dan Ambu sudah pergi ke ladang,” katanya dalam hati.
Abah dan Ambu Nyi Iteung seorang petani yang bekerja keras melawan musim yang silih berganti. Kemarau panjang yang membuat udara dingin di pagi hari dan panas di siang hari tiada dihiraukannya. Begitu pula apabila musim hujan, hujan yang datang tidak mengenal waktu, bukan halangan bagi mereka untuk terus bekerja di ladang.
Terbayang di pelupuk matanya, dengan celana petaninya yang kebesaran dan berwarna gelap, Abah biasanya bergegas menuju ladang sambil memikul alat-alat pertaniannya atau kadang-kadang membawa ember yang berisi kotoran binatang untuk disebarkan dan dicampur dengan tanah di ladang.
Di belakang tampak Ambu tersaruk-saruk mengikuti langkah Abah. Seperti perempuan petani lain di desa itu, Ambu memiliki perawakan sedang, tetapi kuat terpancang pada kedua kaki yang menggembung seperti batang bambu hijau. Mukanya tidak bulat ataupun lebar, tetapi berbentuk oval dengan tulang pipi berisi, memancarkan keibuan yang menyejukkan.
“Ah, Ambu, mungkin bekerja lebih keras daripada Abah. Malam-malam pada waktu seisi rumah tidur, kadang-kadang aku terbangun oleh dengkur Kabayan, lalu melihat Ambu menambal baju yang biasa dipakai ke ladang hanya dengan lampu berkerudung kertas, atau Ambu sedang menyiapkan makanan untuk bekal yang dibawanya ke ladang,” gumam Nyi Iteung.
Nyi Iteung terkejut, bayangan Abah dan Ambunya buyar seketika oleh langkah-langkah orang di luar sana yang memanggil-manggil Abah dan Ambunya.
“Abah, Ambu, ayo kita ke ladang!” teriak suara orang di luar.
“Abah dan Ambu mah, sudah duluan,” balas Nyi Iteung.
“Na, nyubuh-nyubuh amat, Nyai?” kata orang itu sambil meneruskan langkahnya.
Nyi Iteung tidak membalas lagi, terus saja ia menjerang air dan menanak nasi. Lalu, ia menjerang air dan menanak nasi. Lalu, ia turun ke lebak, menuju pancuran sambil membawa cucian. Hari masih gelap, samar-samar, tetapi ke arah pancuran ia sudah hafal. Dari kejauhan terdengar suara teman-temannya yang sedang mencuci sambil bercanda. Nyi Iteung mempercepat langkahnya takut tidak kebagian tempat. Benar saja di pancuran ternyata sudah ramai.
“Nyai, mau nyuci?” tanya salah seorang.
“Ya,” jawab Nyai Iteung pendek.
“Silakan di sana!” kata seseorang itu sambil menunjuk pada sisi sebelah pinggir yang masih kosong.
“Mangga,” Nyi Iteung menjawab sambil terus ke pinggir sungai yang biasa dipakai mencuci. Ia mengeluarkan cucian dalam ember yang dibawanya sedari tadi.
Nyi Iteung terus mencuci, tidak berbicara lagi. Setelah selesai mencuci, ia lalu mandi. Air pancuran membasahi seluruh tubuh Nyi Iteung. Terasa seperti menembus pori-pori
sampai masuk ke tulang sumsumnya. Nyi Iteung kedinginan, menggigil. Buru-buru Nyi Iteung mengenakan kainnya, buru-buru naik hendak pulang.
“Na Nyai, mengapa buru-buru? Seperti takut ketinggalan kereta!” tanya teman-temannya.
“Oh, itu Aceuk, tadi teh lagi menanak nasi dan menjerang air,” jawabnya pendek.
“Oh, begitu? Ya, sok atuh, entar gosong nasinya!”
Tanpa berbicara lagi, Nyi Iteung setengah berlari ke rumahnya.
Masuk ke dapur, asap sudah mengepul dari ceret. Seeeng, tempat menanak nasi juga sudah berbunyi. “Ah, jangan-jangan dari tadi, ke mana si Borokokok? Belum bangun?” tanyanya dalam hati.
“Ah, si Borokokok mah tidak bisa diandalkan! Kerjaannya tidur melulu,” Nyi Iteung mengomel sambil terus menjerang air dan nasi yang sudah matang.
Tanpa terasa hari semakin siang. Matahari bersinar amat terang, udara amat nyaman menerobos sela-sela bilik dapurnya. Nyi Iteung sudah lama di dapur, nasi sudah matang, air juga sudah panas. Perut Nyi Iteung berbunyi, “Ah, rasanya lapar!”
Nyi Iteung mengambil piring dan menyendok nasi. “Tetapi, apa lauk-lauknya, ya?” Ia bertanya dalam hati.
“Ah, seandainya makan dengan tutut, ‘keong sawah yang kecil’ pasti nikmat,” bisiknya. “Tetapi, mana si Borokokok teh?”
“Kang! Kang Kabayan!” teriaknya.
Tidak ada sahutan. Masih sepi belum ada tanda-tanda kehadiran Si Kabayan. “Na tidur teh keterlaluan! Seperti orang mati saja, bagaimana kalau terjadi kebakaran?” Ia sekali lagi berteriak, “Kang Kabayan! Kang...! Yeuh aya bangsat! Bangun! Orang mah sudah ke ladang, sudah nyuci, masak! Na, Akang tidur wae?”
Tetap tidak ada sahutan. Nyi Iteung penasaran, buru-buru menuju kamarnya. Tampak Si Kabayan masih menggeliat-geliat di balai-balainya, air liurnya sudah ke mana-mana, sudah seperti pulau saja. Nyi Iteung memanggil-manggil sambil menggoyang-goyangkan tubuh suaminya. Tetapi, Kabayan tidak bereaksi. Malahan setiap memanggil namanya oleh Nyi Iteung, jawabannya selalu sama, “Ntar, sebentar lagi, tanggung, lagi mimpi.”
Istrinya kesal, akhirnya dibiarkan saja si Kabayan. Dengkurnya saja terdengar semakin keras seperti suara babi. Nyi Iteung keluar, mencari sesuatu. “Biar, harus pakai ini nih,” katanya sambil tangannya mengambil jeujeur pancing. Diintip dari luar, dari sela-sela bilik, si Kabayan masih telentang, tidak memakai baju. Perutnya buncit, napasnya memburu turun naik seperti sedang berlari, dan rambutnya kusut. Nyi Iteung tidak ragu-ragu lagi, jeujeur pancing yang
sejak tadi dipegang, dimasukkan ke sela-sela bilik terus didekatkan ke atas perut Kabayan. Dengan sekuat tenaga, jeujeur yang tajam itu ditekankan pada perut Kabayan.
Si Kabayan terperanjat dan berteriak, “Hadang di Lebak! Awas, jangan lolos!”
“Apa, hadang di Lebak teh, hah? Bangun!” Nyi Iteung membentak.
Dengan malas, si Kabayan bangun, menatap istrinya yang sedang berdiri sambil membawa jeujeur pancing.
“Hah, menganggu saja! Aku sedang bermimpi menangkap kancra. Sudah lepas gara-gara kamu, Nyai! Berisik!”
“Jangan ngelantur, heh!” istrinya tidak kalah sengitnya.“Mendingan mencari tutut untuk makan, hayoh! Nasi sudah matang. Apa mau makan cuma dengan garam?”
“Mencari tutut ke mana, Nyai? Segini sudah siangnya?” tanya Si Kabayan.
“Mencari ke mana? Tutut biasanya ada di mana? Tidak ada keinginan amat! Ya, ke sawah! Nanti disayur, ‘kan bumbunya sudah ada! Aku sudah lapar, sudah bangun dari subuh.”
Si Kabayan bangun dengan lamban dan malas-malasan, sambil tangannya menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal, lalu keluar meninggalkan rumahnya sambil mengomel.
“Ah, sedang enak-enak mimpi, diganggu!”
“Enggak ke pancuran dulu?” tanya istrinya.
“Enggak,” jawab si Kabayan. “Nanti saja mandi di sawah, biar airnya hangat.”
Nyi Iteung geleng-geleng kepala sambil menatap kepergian suaminya.
Ia menunggu suaminya sambil menahan perut yang sejak tadi keroncongan. Ia lalu ke dapur, menyiapkan bumbu untuk sayur tutut. Bumbu sudah jadi, tetapi suaminya belum juga datang.
“Na, ke mana si Borokokok teh? Sekadar mencari tutut, kok lama sekali?” Nyi Iteung mengomel seorang diri.
Baca Juga: Cerita Rakyat Nusantara
Sambil menunggu Kabayan disertai menahan lapar, Iteung minum teh untuk mengganjal perutnya. Habis segelas Kabayan belum kelihatan juga. Dua gelas. Tiga gelas hingga akhirnya sudah habis kesabarannya.
Karena si Kabayan tidak ada tanda-tanda bakal pulang, Nyi Iteung menyusul ke sawah. Kakinya berjalan cepat-cepat hingga tak lama kemudian sampailah di pinggir sawah. Dari jauh tampak suaminya sedang berjongkok saja di atas pematang sawah sambil memegang bambu yang panjang.
“Kang Kabayan, sedang apa?”
“Lah, ‘kan sedang mencari tutut. Kan Nyai mau nyayur tutut?”
“Masa dikorek-korek dari atas galengan? Turun ke sana, gitu!”
“Enggak ah, takut tenggelam. Lihat tuh airnya sangat dalam, langit juga kelihatan dari sini. Apa Nyai mau jadi janda?”
Nyi Iteung sangat kesal. Tanpa ragu-ragu lagi suaminya didorongnya ke dalam sawah.
“Kalau hanya dikorek-korek dari atas galengan, mana bisa dapat tutut...!” Nyi Iteung melotot.
Byur, si Kabayan jatuh ke sawah yang baru ditanami padi. Si Kabayan berkata sambil cengar-cengir, “Eh, kok dangkal, ya? Tadinya Akang kira dalam, soalnya ada bayang-bayang langit di airnya.”
Nyi Iteung tidak berbicara lagi. Ia berbalik arah memunggungi Kabayan, pulang, sambil mengomel-ngomel, “Lain kali, kalau mencari tutut, jangan dikorek-korek dari atas. Turun! Tangkap dengan saringan atau tangkap dengan tangan.”
“Beres, Tuan Putri! Sekarang pulanglah! Kanda berendam dulu!” kata Kabayan kepada istrinya dengan bercanda.
Nyi Iteung dari jauh masih menjawab, “Tuan Putri, Tuan Putri! He, jangan lupa tututnya!”
“Jangan terlalu lama berendamnya! Iteung sudah lapar.” Nyi Iteung menjawab ketus.
Si Kabayan tidak menanggapinya. Ia hanya memandang punggung istrinya.
(Ditulis oleh Mohammad Rizqi)
0 Tanggapan "Si Kabayan Mencari Tutut (Keong Sawah)"
Post a Comment