Dalem Boncѐl | SDN Ciwangi Purwakarta
..:: Selamat Datang Peserta Didik Baru Di Sekolah TASBIH (Taqwa, Aman, Santun, Bersih, Indah, Hijau) ::..

Dalem Boncѐl

SDN Ciwangi Purwakarta

Di Desa Bungbulang bagian selatan kabupaten Garut tinggallah sebuah keluarga miskin dengan satu anak lelaki. Sang ayah bekerja sebagai buruh tani dan istrinya seorang ibu rumah tangga. Mereka mempunyai seorang anak remaja yang bernama Boncel. Karena sangat miskin, mereka kadang-kadang tidak makan setiap hari. Kehidupan mereka bergantung dari hasil buruh tani ayahnya Boncel. Oleh karena itu, Boncel membantu ayah ibunya bekerja sebagai pencari rumput.
Pada awalnya Boncel menjadi pencari rumput secara tidak sengaja. Ayahnya terlibat utang dengan salah satu juragan di Desa Bungbulang. Untuk membayar utang ayahnya, Boncel membantu mencarikan rumput untuk hewan ternak juragan tersebut. Hari demi hari Boncel mencari rumput untuk satu juragan ke juragan lainnya.
Suatu hari pada saat mencari rumput, Boncel beristirahat di bawah pohon kapuk. Pikirannya melayang jauh, memikirkan nasib hidupnya yang tidak pernah berubah. Dia memimpikan pada suatu hari kelak dia akan menjadi juragan, hidup berkecukupan, dan dihormati orang. Akan tetapi, bagaimana hidupnya bisa berubah apabila dia terus-menerus bekerja sebagai pencari rumput seperti ini, batinnya. Sesaat kemudian Boncel berpikir dan memutuskan untuk pergi berpetualang mencari kerja ke luar desanya.
Matahari bersinar di ufuk timur. Boncel bergegas membersihkan diri dan membawa bekal baju seadanya. Dia berpamitan kepada ayah ibunya untuk pergi merantau mencari pekerjaan. Betapa kaget ayah ibunya ketika mendengar maksud anaknya pergi ke luar kota untuk mencari pekerjaan.
“Kalau kamu pergi, siapa yang akan merawat kami nanti?” bapaknya bertanya.
“Ya, nanti siapa yang membantu ibu mengambil air, Nak?” ibunya menimpali pula.
“Ibu, Bapak, Boncel sudah bulat tekad ingin mengubah nasib dengan pergi ke desa lain.”
“Ya sudah kalau kamu bersikeras begitu.”
Dengan berat hati bapak dan ibunya terpaksa mengizinkan Boncel pergi.
“Hati–hati di jalan, ya, Nak,” ibunya melambaikan tangan. Air mata meleleh di pipinya.
Boncel pergi dengan diiringi tatapan mata bapak ibunya yang sedih ditinggal Boncel.
Dengan bekal seadanya Boncel pergi meninggalkan Desa Bungbulang. Lembah disusuri, hutan dijelajahi. Boncel pergi tanpa arah. Harapan dan impian agar hidupnya berubah membuncah dalam hatinya. Setelah melalui beberapa lembah dan sungai, tibalah Boncel di sebuah hutan. Hutan tersebut tampaknya tidak terlalu lebat dan angker. Di antara pepohonan yang tinggi terdapat ladang-ladang. Tampaknya di dalam hutan tersebut sudah ada beberapa orang yang tinggal dan bercocok tanam. Boncel beristirahat sejenak di dekat sebuah ladang untuk melepas penat yang memberati langkahnya. Di kejauhan terdengar suara anjing menggonggong, semakin lama arahnya semakin dekat. Boncel melompat mundur ketika serombongan anjing menyalak di depannya.
“Hiaaap……syh…..syh…shieh.”
Tiba-tiba di belakang rombongan anjing tadi berhenti seorang yang bertubuh tegap mengendarai kuda. Lelaki yang bertubuh tegap itu turun dari kuda dan menghalau rombongan anjing yang ramai menyalak ke arah Boncel.
“Hai anak muda, siapa kamu?”
“Saya Boncel, Juragan.”
“Sedang apa kamu duduk di situ?”
“Saya menumpang istirahat sebentar Juragan,... boleh?” Boncel meminta izin.
“Silakan, Nak.”
“Dari mana kamu berasal dan hendak ke mana
tujuan kamu, Nak?” lelaki itu bertanya lagi.
“Ini Desa Cidaun. Memangnya dari mana kamu berasal dan hendak ke mana tujuan kamu, Nak?” lelaki itu bertanya lagi.
“Saya pergi dari Desa Bungbulang untuk mencari kerja, Juragan.”
“Memangnya di desa kamu tidak ada pekerjaan, Nak?”
“Desa Bungbulang itu desa yang kecil, Juragan. Penduduknya juga sedikit.”
“Tidak banyak yang memiliki sawah, jadi pekerjaan juga sedikit,” Boncel menjelaskan panjang lebar.
“Terus pekerjaanmu di desa dulu apa?”
“Saya hanya membantu bapak saya sebagai buruh tani, Gan.”
“Oh, kamu biasanya mengerjakan apa?”
“Aku biasa mengarit rumput, Gan.”
“Kalau begitu, kamu bisa membantu saya mengambilkan rumput untuk kuda-kudaku?” Boncel terdiam sejenak. Di dalam benaknya dia berpikir, sudah seminggu lebih dia berjalan mencari pekerjaan tetapi dia belum juga memperolehnya. Kaki dan badannya sudah capai. Belum lagi, sudah dua hari dia tidak makan.
“Baiklah, Juragan. Saya mau membantu mencari rumput.” Boncel menyanggupi pekerjaan yang ditawarkan lelaki bertubuh tegap tersebut.
Juragan yang menemui Boncel tersebut tidak lain adalah Ki Paninggaran. Ki Paninggaran adalah seorang pemburu ulung. Dia mempunyai beberapa ekor kuda dan anjing untuk menemaninya berburu.
Ki Paninggaran sesungguhnya juga seorang ahli bela diri yang mempunyai puluhan murid. Ki Paninggaran tidak setiap hari berburu. Dalam sebulan dia hanya tiga kali berburu. Kegiatan berburu hanyalah salah satu hobinya saja. Ki Paninggaran adalah seorang guru bela diri yang cukup disegani di Desa Cidaun. Dia mempunyai puluhan murid yang berasal dari berbagai desa di Tatar Parahyangan. Hari demi hari Boncel melakukan pekerjaannya sebagai tukang mencari rumput buat Ki Paninggaran. Ki Paninggaran mempunyai sepuluh ekor kuda. Jadi, cukup banyak rumput yang harus dikumpulkan oleh Boncel.
Tidak terasa Boncel sudah seminggu tinggal di hutan itu. Kebosanan pun menghinggapi perasaan Boncel. Dia berpikir, “Aku sudah pergi jauh meninggalkan desaku untuk mencari pekerjaan agar hidupku berubah menjadi lebih baik. Akan tetapi, keadaanku kini tidak lebih baik. Sepertinya aku harus pergi dari hutan ini untuk mencari pekerjaan lain.”
Suatu hari Boncel pun menemui Ki Paninggaran untuk pamit berhenti bekerja.
“Maaf, Juragan, saya tidak bisa berlama-lama di sini. Saya ingin melanjutkan perjalanan saya.”
“Mengapa kamu ingin pergi, Nak? Kamu tidak betah bekerja untuk saya?” Ki Paninggaran bertanya berturut-turut dan bingung.
“Tidak, Juragan. Saya betah di sini, tetapi saya ingin mencari pekerjaan yang lebih baik lagi dari pekerjaan ini,” Boncel menjelaskan. “Baiklah kalau begitu, aku tidak bisa melarangmu. Ini upahmu selama kamu bekerja di sini. Tidak banyak upah ini, tetapi mudah-mudahan upah ini bisa menjadi bekal kamu mencari pekerjaan di tempat lain.”
“Terima kasih, Juragan, saya pamit.”
“Ya, hati-hati di jalan, ya, Nak.”
“Baik, Juragan. Sekali lagi, terima kasih.”

[Ditulis oleh Sunarsih]

Masukkan E-Mail Anda:

0 Tanggapan "Dalem Boncѐl"

Post a Comment