Di Desa Bungbulang bagian
selatan kabupaten Garut tinggallah sebuah keluarga miskin dengan satu anak
lelaki. Sang ayah bekerja sebagai buruh tani dan istrinya seorang ibu rumah
tangga. Mereka mempunyai seorang anak remaja yang bernama Boncel. Karena sangat
miskin, mereka kadang-kadang tidak makan setiap hari. Kehidupan mereka
bergantung dari hasil buruh tani ayahnya Boncel. Oleh karena itu, Boncel
membantu ayah ibunya bekerja sebagai pencari rumput.
Pada awalnya Boncel menjadi
pencari rumput secara tidak sengaja. Ayahnya terlibat utang dengan salah satu
juragan di Desa Bungbulang. Untuk membayar utang ayahnya, Boncel membantu
mencarikan rumput untuk hewan ternak juragan tersebut. Hari demi hari Boncel
mencari rumput untuk satu juragan ke juragan lainnya.
Suatu hari pada saat mencari
rumput, Boncel beristirahat di bawah pohon kapuk. Pikirannya melayang jauh,
memikirkan nasib hidupnya yang tidak pernah berubah. Dia memimpikan pada suatu
hari kelak dia akan menjadi juragan, hidup berkecukupan, dan dihormati orang.
Akan tetapi, bagaimana hidupnya bisa berubah apabila dia terus-menerus bekerja
sebagai pencari rumput seperti ini, batinnya. Sesaat kemudian Boncel berpikir
dan memutuskan untuk pergi berpetualang mencari kerja ke luar desanya.
Matahari bersinar di ufuk
timur. Boncel bergegas membersihkan diri dan membawa bekal baju seadanya. Dia
berpamitan kepada ayah ibunya untuk pergi merantau mencari pekerjaan. Betapa
kaget ayah ibunya ketika mendengar maksud anaknya pergi ke luar kota untuk
mencari pekerjaan.
“Kalau kamu pergi, siapa
yang akan merawat kami nanti?” bapaknya bertanya.
“Ya, nanti siapa yang
membantu ibu mengambil air, Nak?” ibunya menimpali pula.
“Ibu, Bapak, Boncel sudah
bulat tekad ingin mengubah nasib dengan pergi ke desa lain.”
“Ya sudah kalau kamu
bersikeras begitu.”
Dengan berat hati bapak
dan ibunya terpaksa mengizinkan Boncel pergi.
“Hati–hati di jalan, ya,
Nak,” ibunya melambaikan tangan. Air mata meleleh di pipinya.
Boncel pergi dengan
diiringi tatapan mata bapak ibunya yang sedih ditinggal Boncel.
Dengan bekal seadanya
Boncel pergi meninggalkan Desa Bungbulang. Lembah disusuri, hutan dijelajahi.
Boncel pergi tanpa arah. Harapan dan impian agar hidupnya berubah membuncah
dalam hatinya. Setelah melalui beberapa lembah dan sungai, tibalah Boncel di
sebuah hutan. Hutan tersebut tampaknya tidak terlalu lebat dan angker. Di
antara pepohonan yang tinggi terdapat ladang-ladang. Tampaknya di dalam hutan
tersebut sudah ada beberapa orang yang tinggal dan bercocok tanam. Boncel
beristirahat sejenak di dekat sebuah ladang untuk melepas penat yang memberati
langkahnya. Di kejauhan terdengar suara anjing menggonggong, semakin lama
arahnya semakin dekat. Boncel melompat mundur ketika serombongan anjing
menyalak di depannya.
“Hiaaap……syh…..syh…shieh.”
Tiba-tiba di belakang
rombongan anjing tadi berhenti seorang yang bertubuh tegap mengendarai kuda.
Lelaki yang bertubuh tegap itu turun dari kuda dan menghalau rombongan anjing
yang ramai menyalak ke arah Boncel.
“Hai anak muda, siapa
kamu?”
“Saya Boncel, Juragan.”
“Sedang apa kamu duduk di
situ?”
“Saya menumpang istirahat
sebentar Juragan,... boleh?” Boncel meminta izin.
“Silakan, Nak.”
“Dari mana kamu berasal
dan hendak ke mana
tujuan kamu, Nak?” lelaki
itu bertanya lagi.
“Ini Desa Cidaun.
Memangnya dari mana kamu berasal dan hendak ke mana tujuan kamu, Nak?” lelaki
itu bertanya lagi.
“Saya pergi dari Desa
Bungbulang untuk mencari kerja, Juragan.”
“Memangnya di desa kamu
tidak ada pekerjaan, Nak?”
“Desa Bungbulang itu desa
yang kecil, Juragan. Penduduknya juga sedikit.”
“Tidak banyak yang
memiliki sawah, jadi pekerjaan juga sedikit,” Boncel menjelaskan panjang lebar.
“Terus pekerjaanmu di desa
dulu apa?”
“Saya hanya membantu bapak
saya sebagai buruh tani, Gan.”
“Oh, kamu biasanya
mengerjakan apa?”
“Aku biasa mengarit
rumput, Gan.”
“Kalau begitu, kamu bisa
membantu saya mengambilkan rumput untuk kuda-kudaku?” Boncel terdiam sejenak.
Di dalam benaknya dia berpikir, sudah seminggu lebih dia berjalan mencari
pekerjaan tetapi dia belum juga memperolehnya. Kaki dan badannya sudah capai.
Belum lagi, sudah dua hari dia tidak makan.
“Baiklah, Juragan. Saya
mau membantu mencari rumput.” Boncel menyanggupi pekerjaan yang ditawarkan
lelaki bertubuh tegap tersebut.
Juragan yang menemui
Boncel tersebut tidak lain adalah Ki Paninggaran. Ki Paninggaran adalah seorang
pemburu ulung. Dia mempunyai beberapa ekor kuda dan anjing untuk menemaninya
berburu.
Ki Paninggaran
sesungguhnya juga seorang ahli bela diri yang mempunyai puluhan murid. Ki
Paninggaran tidak setiap hari berburu. Dalam sebulan dia hanya tiga kali
berburu. Kegiatan berburu hanyalah salah satu hobinya saja. Ki Paninggaran
adalah seorang guru bela diri yang cukup disegani di Desa Cidaun. Dia mempunyai
puluhan murid yang berasal dari berbagai desa di Tatar Parahyangan. Hari demi
hari Boncel melakukan pekerjaannya sebagai tukang mencari rumput buat Ki
Paninggaran. Ki Paninggaran mempunyai sepuluh ekor kuda. Jadi, cukup banyak rumput
yang harus dikumpulkan oleh Boncel.
Tidak terasa Boncel sudah
seminggu tinggal di hutan itu. Kebosanan pun menghinggapi perasaan Boncel. Dia
berpikir, “Aku sudah pergi jauh meninggalkan desaku untuk mencari pekerjaan
agar hidupku berubah menjadi lebih baik. Akan tetapi, keadaanku kini tidak
lebih baik. Sepertinya aku harus pergi dari hutan ini untuk mencari pekerjaan
lain.”
Suatu hari Boncel pun
menemui Ki Paninggaran untuk pamit berhenti bekerja.
“Maaf, Juragan, saya tidak
bisa berlama-lama di sini. Saya ingin melanjutkan perjalanan saya.”
“Mengapa kamu ingin pergi,
Nak? Kamu tidak betah bekerja untuk saya?” Ki Paninggaran bertanya
berturut-turut dan bingung.
“Tidak, Juragan. Saya
betah di sini, tetapi saya ingin mencari pekerjaan yang lebih baik lagi dari
pekerjaan ini,” Boncel menjelaskan. “Baiklah kalau begitu, aku tidak bisa
melarangmu. Ini upahmu selama kamu bekerja di sini. Tidak banyak upah ini,
tetapi mudah-mudahan upah ini bisa menjadi bekal kamu mencari pekerjaan di
tempat lain.”
“Terima kasih, Juragan,
saya pamit.”
“Ya, hati-hati di jalan,
ya, Nak.”
“Baik, Juragan. Sekali
lagi, terima kasih.”
[Ditulis oleh Sunarsih]
0 Tanggapan "Dalem Boncѐl"
Post a Comment