Tindakan plagiarisme atau
tindakan penjiplakan karya seseorang oleh orang lain tanpa hak, disamping
melanggar hak moral dan hal ekonomi penciptanya, namun juga memiliki dampak
kurang mendukung kreatifitas anak bangsa untuk menulis atau menciptakan karya
yang bermanfaat bagi masyarakat secara luas.Plagiarisme terjadi mungkin karena
faktor kesengajaan dari pelaku, atau mungkin karena faktor ketidaksengajaan.
Yang pertama, terjadinya tindakan plagiarisme ini tampaknya lebih banyak
disebabkan oleh faktor sikap dan tata nilai yang dianut pelakunya yang
cenderung tidak menghargai hak orang lain, memiliki sikap dan perilaku jalan
pintas dan mendapatkan hasil yang instan, faktor egoistik, dan tidak mau
bersusah-susah. Orang-orang seperti ini cenderung korup dalam sikap dan
tindakannya. Sedangkan yang kedua tampaknya lebih disebabkan faktor teknis, seperti
ketidaktahuan pelaku akan etika dan aturan penulisan.
Indonesia sudah memiliki
undang-undang Hak Cipta sejak lama, namun kasus-kasus pelanggaran terhadap Hak
Cipta masih kerap terjadi. Plagiarisme dan tindakan penjiplakan karya milik
orang lain dan diakuinya sebagai milik sendiri, masih terjadi di banyak kasus.
Sebut saja antara lain kasus: penyair Chairil Anwar (1949) pernah dituduh
menjiplak karya tulis; disertasi Yahya Muhaimin (1992) dituduh menjiplak
tulisan beberapa ahli; Amir Santoso
(1979)dituduh membajak karya tulis ilmiah dari berbagai kalangan, bahkan
dari kalangan mahasiswanya sendiri. Amir juga mencaplok karya intelektual pakar
lain. Apa yang dilakukan Amir Santoso itu dalam rangka mencapai gelar profesor
(guru besar Universitas Indonesia). Dosen Institut Seni Indonesia Denpasar, I
Made Kartawan, dituduh menjiplak. Tesis Kartawan pada 2003 yang berjudul Keragaman
Laras Gong Kebyar di Bali sama persis dengan laporan penelitian berjudul Keragaman
Laras (Tuning Systems) Gambelan Gong Kebyar hasil penelitian Prof Bandem,
Prof Rai, Andrew Toth, dan Nengah Suarditha yang dilakukan pada 1999 dari
Universitas Udayana. Dan banyak lagi kasus plagiarisme yang sempat penulis
lacak di media online. (Sumber: tempo.co.id. 5 april 2015).
Pada pasal 1 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, secara tegas
dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta
yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu
ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara itu, yang dimaksud dengan Pencipta
adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau
bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. Sedangkan
yang dimaksud dengan Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan,
pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan
dalam bentuk nyata.Batasan yang penting terkait hak cipta adalah pemegang hak
cipta. Menurut undang-undang ini, yang disebut Pemegang Hak Cipta adalah pencipta
sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari
Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang
menerima hak tersebut secara sah.
Selanjutnya pada pasal 4
undang-undang ini mengemukakan bahwa, sebagai hak eksklusif, hak cipta memiliki
hak moral dan hak ekonomi. Hak moral adalah hak yang melekat secara abadi pada
diri Pencipta untuk:
a.
tetap
mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan
pemakaian Ciptaannya untuk umum;
b.
menggunakan nama
aliasnya atau samarannya;
c.
mengubah
Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;
d.
mengubah judul
dan anak judul Ciptaan; dan
e.
mempertahankan
haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi
Ciptaan, atau hal yang
bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya. Hak moral sebagaimana
dimaksud, tidak dapat dialihkan selama Pencipta masih hidup, tetapi pelaksanaan
hak tersebut dapat dialihkan dengan wasiat atau sebab lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan setelah Pencipta meninggal dunia.Dalam
hal terjadi pengalihan pelaksanaan hak moral sebagaimana dimaksud, penerima
dapat melepaskan atau menolak pelaksanaan haknya dengan syarat pelepasan atau
penolakan pelaksanaan hak tersebut dinyatakan secara tertulis.
Sementara itu, pada pasal
8 undang-undang ini dikemukakan bahwa hak ekonomi maksudnya adalah hak
eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi
atas Ciptaan. Lebih lanjut pada pasal 9 dikemukakan bahwa Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi
untuk melakukan:
a.
penerbitan
Ciptaan;
b.
penggandaan
Ciptaan dalam segala bentuknya
c.
penerjemahan
Ciptaan;
d.
pengadaptasian,
pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan;
e.
pendistribusian
Ciptaan atau salinannya;
f.
pertunjukan
Ciptaan;
g.
pengumuman
Ciptaan;
h.
komunikasi
Ciptaan; dan
i.
penyewaan
Ciptaan.
Ketentuan lebih lanjut
tentang hak ekonomi ini berbunyi, “Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi
sebagaimana dimaksud, wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta”.Setiap
Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan
Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan. Pada pasal 11 (1) dikemukakan
bahwa hak ekonomi untuk melakukan Pendistribusian Ciptaan atau salinannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e, tidak berlaku terhadap
Ciptaan atau salinannya yang telah dijual atau yang telah dialihkan kepemilikan
Ciptaan kepada siapapun.
Ciptaan yang Dilindungi. Pasal
40 (1) mencatat bahwa ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan dalam bidang
ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas:
1.
buku,
2.
pamflet,
3.
perwajahan karya
tulis yang diterbitkan,
4.
dan semua hasil
karya tulis lainnya;
5.
ceramah, kuliah,
pidato, dan Ciptaan sejenis lainnya;
6.
alat peraga yang
dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
7.
lagu dan/atau
musik dengan atau tanpa teks;
8.
drama, drama
musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
9.
karya seni rupa
dalam segala bentuk seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, seni pahat,
patung, atau kolase;
10. karya seni terapan;
11. karya arsitektur;
12. peta;
13. karya seni batik atau seni motif lain;
14. karya fotografi;
15. potret;
16. karya sinematografi;
17. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, basis data,
adaptasi, aransemen, modifikasi dan karya lain dari hasil transformasi;
18. terjemahan, adaptasi, aransemen, transformasi, atau
modifikasi ekspresi budaya tradisional;
19. kompilasi Ciptaan atau data, baik dalam format yang
dapat dibaca dengan Program Komputer maupun media lainnya;
20. kompilasi ekspresi budaya tradisional selama kompilasi
tersebut merupakan karya yang asli;
21. permainan video; dan
Ciptaan sebagaimana
dimaksud di atas pada ayat (1) huruf n dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri
dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.Pelindungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk pelindungan terhadap Ciptaan yang
tidak atau belum dilakukan Pengumuman tetapi sudah diwujudkan dalam bentuk
nyata yang memungkinkan Penggandaan Ciptaan tersebut. Ketentuan lengkap
perundangan secara lebih detil ada pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor
28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Sekadar informasi tentang
sanksi pidana atau perdata terkait tindakan pelanggaran hak cipta dalam bentuk
tindakan plagiarisme, diatur dalam pasal-pasal berikut. Pasal 112 Setiap Orang
yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (3) dan/atau Pasal 52 untuk Penggunaan Secara Komersial, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).Pasal 113 (1) Setiap Orang yang dengan
tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) huruf I untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000
(seratus juta rupiah).
Setiap Orang yang dengan
tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Setiap Orang yang
dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Setiap Orang yang
memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk
pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Lebih lanjut, pasal 114 mengemukakan
bahwa, setiap orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya
yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan
barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan
yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana
denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).Pasal 115 Setiap
Orang yang tanpa persetujuan dari orang yang dipotret atau ahli warisnya melakukan
Penggunaan Secara Komersial, Penggandaan, Pengumuman, Pendistribusian, atau
Komunikasi atas Potret sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 untuk kepentingan
reklame atau periklanan untuk Penggunaan Secara Komersial baik dalam media
elektonik maupun non elektronik, dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 116 (1) mengemukakan
bahwa, setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf e untuk Penggunaan Secara
Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). Setiap orang
yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a, huruf b, dan/atau huruf f, untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Setiap
orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c, dan/atau huruf d untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk Pembajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah).
Pasal 117 (1) mencatat
bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). Setiap
orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (2) huruf a, huruf b, dan/atau huruf d
untuk Penggunaan Secara Komersial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah). Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) yang dilakukan dalam bentuk Pembajakan dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Terakhir sebagai contoh, pada pasal
118 (1) dikemukakan bahwa, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2)
huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d untuk Penggunaan Secara Komersial,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Setiap orang yang
memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf d yang
dilakukan dengan maksud Pembajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).
1. Kasus plagiarisme yang pertama sejak Indonesia merdeka
menyangkut nama besar Chairil Anwar
pada tahun 1949, yang pernah dituduh menjiplak karya tulis. Tak
tanggung-tanggung, yang menuduh Hans Bague Jassin melalui tulisannya di Mimbar
Indonesia berjudul Karya Asli, Saduran, dan Plagiat membahas puisi Kerawang-Bekasi.
Kritikus sastra yang juga bergelar Paus Sastra Indonesia itu membandingkan
puisi Chairil dengan The Dead Young Soldiers karya Archibald MacLeish,
penyair Amerika Serikat. Dalam tulisannya, Jassin tidak menyalahkan Chairil.
Menurutnya, meskipun mirip, tetap ada rasa Chairil di dalamnya. Sementara itu, sajak
MacLeish, menurut Jassin, hanyalah katalisator penciptaan. Namun demikian, tanggapan
Chairil bisa berbeda, apalagi Jassin menyebut tindakan Chairil meniru sajak
MacLeish karena butuh uang untuk biaya berobat ke dokter. Ketegangan mereka
sempat memuncak pada suatu acara di Gedung Kesenian Jakarta. Chairil dan Jassin
sempat berkelahi. (Sumber: tempo.co.id. 5 april 2015). Pada saat itu
undang-undang hak cipta belum ada di Indonesia.
2. Kasus berikutnya melibatkan Yahya Muhaimin pada tahun 1992. Menurut sumber tempo.co.id. 5
april 2015, Ismet Fanany, ahli pendidikan asal Batusangkar, Sumatera Barat,
yang bermukim di Amerika Serikat menerbitkan buku tentang plagiat. Buku
terbitan CV Haji Masagung Jakarta itu berjudul Plagiat-Plagiat. Isinya
tentang plagiat Yahya Muhaimin. Disertasi Yahya dituduh menjiplak tulisan
beberapa ahli. The Politics of Client Businessmen, disertasi Yahya yang
dipertahankan di MIT Cambridge, Amerika Serikat, 1982, dibandingkan dengan Capitalism
and The Bureaucratic State in Indonesia: 1965-1975, judul asli tesis
Robison di Universitas Sydney 1977.Menurut Ismet, kemiripan itu baru satu
sumber. Masih banyak lagi kemiripan dengan artikel lain. Yahya sendiri kepada Tempo
menjelaskan, "Mungkin dia memakai standar plagiat yang berbeda dengan yang
saya anut." Dia mengakui disertasinya mengutip banyak fakta dan pendapat
sejumlah ahli yang memang disebut Fanany. "Tapi saya mencantumkan
sumbernya," kata Yahya. Atas tudingan Fanany itu, Yahya tak berpikir
menyerang balik.
3. Kasus plagiarisme berikutnya melibatkan nama pendidik,
Amir Santoso 1979.Ia dituduh
membajak karya tulis ilmiah dari berbagai kalangan, bahkan dari kalangan
mahasiswanya sendiri. Amir juga mencaplok karya intelektual pakar lain. Apa
yang dilakukan Amir Santoso itu dalam rangka mencapai gelar profesor (guru
besar Universitas Indonesia). (Sumber: tempo.co.id. 5 april 2015). Penanganan
selanjutnya penulis tidak melacaknya lebih jauh. Masih dalam sumber yang sama,
pada tahun Desember 2008, Made Kartawan
(Desember 2008), dosen Institut Seni Indonesia Denpasar, I Made
Kartawan, dituduh menjiplak. Tesis Kartawan pada 2003 yang berjudul Keragaman
Laras Gong Kebyar di Bali sama persis dengan laporan penelitian berjudul Keragaman
Laras (Tuning Systems) Gambelan Gong Kebyar hasil penelitian Prof Bandem,
Prof Rai, Andrew Toth, dan Nengah Suarditha yang dilakukan pada 1999 dari
Universitas Udayana.
4. Selanjutnya sekitar tujuh tahun yang lalu, tepatnya
bulan Januari tahun 2010, Ade Juhana, dosen
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati itu menyelesaikan tesis doktornya
dengan membajak tesis Prof Dr H.M.A. Tihami, MA, Rektor Institut Agama Islam
Negeri Sultan Maulana Hasanuddin, Banten, dan buku Mohamad Hudaeri M.A., dosen
dan Ketua Lembaga Penelitian IAIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten. Sayangnya,
ini hanya laporan surat pembaca di harian Kompas, jadi tidak terdengar
kelanjutan kasusnya. Pada tahun yang sama, bulan Pebruari 2010, Anak Agung Banyu Perwita, profesor di Universitas
Katolik Parahyangan, dituding menjiplak dalam artikelnya yang dimuat di harian
nasional, The Jakarta Post. Harian itu menilai tulisan Banyu telah
menjiplak sebuah jurnal ilmiah di Australia yang ditulis Carl Ungerer. Rapat
senat Universitas yang berlangsung enam jam akhirnya memutuskan untuk mencopot
seluruh jabatan guru besar bidang hubungan internasional Universitas
Parahyangan itu. Banyu Perwita memilih mengundurkan diri.
5. Masih kasus plagiarisme di kalangan pendidikan, kali
ini melibatkan Heri Ahmad Sukria, pada
bulan Juli 2010. Ia adalah dosen Institut Pertanian Bogor, Heri
Ahmad Sukria, disomasi Jasmal A. Syamsu dari Universitas Hasanuddin, Sulawesi
Selatan. Somasi dilayangkan terkait dengan dugaan plagiarisme buku berjudul Sumber
dan Ketersediaan Bahan Baku Pakan di Indonesia. Buku tersebut diterbitkan
IPB Press dengan penulis Heri Ahmad dan Rantan Krisnan. Menurut sang Profesor,
terdapat tulisan dan data yang diambil dari artikelnya.
6. Pejabat pun ternyata tidak lepas dari kasus
plagiarisme Siti Fadilah Supari, mantan
Menteri Kesehatan ini pernah dituduh melakukan plagiat pada tahun 2004. Ketika
itu Fadilah menyajikan seminar berjudul Cholesterol-Lowering Effect of
Soluble Fibre as an adjunct to Low Calories Indonesian Diet in Patients with
Hypercholesterolamia di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta, 29
Oktober 2002. Apa yang dia sajikan mirip dengan karya James W. Anderson
berjudul Long-term Cholesterol Lowering Effect of Psyllium as An Adjunct to
Diet Therapy in The Treatment of Hypercholesterolamia, yang dimuat di American
Journal of Clinical Nutrition volume 71 tahun 2000."Saya tahu, kok,
batasan plagiat," kata sang Menteri, berkilah. Plagiat, menurut Fadilah,
terjadi apabila makalah yang dipersoalkan dimuat di majalah atau jurnal ilmiah.
"Ini kan tidak. Saya hanya mempresentasikan di hadapan sejumlah dokter dan
kalangan awam.”
Hak Cipta dan Plagiarisme
Pawit M. Yusup
0 Tanggapan "Hak Cipta dan Plagiarisme"
Post a Comment